To Download Free Books or Contents Click Here!!!!

Saturday 30 August 2008

Desa creator listrik

Bencana alam yang terjadi di Indonesia bisa dikatakan sebagai buah
keserakahan manusia yang mengambil hasil hutan secara tidak
terkendali. Tak heran kalau cagar alam Gunung Simpang seluas 15.428
hektar dengan pohon-pohon yang besar sangat menggoda sebagian orang
untuk memanfaatkannya secara berlebihan.
Sadar akan potensi godaan itu, Ahim dan Zaenal Arifin, yang sehari-
hari menjadi petani, pasang badan bagi siapa pun yang berani masuk
cagar alam Gunung Simpang untuk menebang kayu. Cagar alam itu terletak
di Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, sekitar 150
kilometer arah selatan ibu kota Kabupaten Cianjur.
Lima desa mengitari hutan cagar alam tersebut, yakni Neglasari,
Cibuluh, Gelarpawitan, Puncakbaru, dan Mekarjaya. Kendati pemerintah
menempatkan jagawana untuk melindungi hutan, jumlahnya tak mencukupi.
Ini membuat mereka kewalahan jika tiba-tiba ada gerakan massa merambah
hutan.
Posisi beberapa kampung di Neglasari itu berbatasan langsung
dengan hutan Gunung Simpang. Masyarakat di kampung-kampung tersebut
suatu saat bisa terdesak kebutuhan. Mereka akan dengan mudah
memutuskan masuk hutan dan mengambil hasilnya. Mereka juga bisa
diprovokasi siapa pun dengan dalih hutan adalah milik bersama sehingga
bersedia menebang pohon di hutan.
Berbekal pengetahuan sederhana, Ahim dan Zaenal berhasil memberi
pengertian kepada warga Desa Neglasari agar tak masuk hutan. Hal itu
sudah mereka lakukan sejak tahun 2000.
"Leuweung utuh, masyarakat lintuh," ujar Ahim. Terjemahan bebas
dari peribahasa Sunda itu kira-kira berarti: jika hutan utuh,
masyarakat akan sejahtera. "Desakan kebutuhan yang paling sering
menghampiri penduduk di sekitar hutan adalah kebutuhan untuk membuat rumah. Ada saja warga yang ingin mengambil kayu dari dalam hutan untuk membuat rumah,"
cerita Zaenal.
Jika berhadapan dengan kondisi seperti itu, keduanya tak tinggal
diam. Mereka lalu bermusyawarah dengan masyarakat setempat. Biasanya,
warga akan membantu dengan memberikan material yang mereka miliki.
"Kalau kayunya kurang dan tak bisa membeli dari luar karena tak
ada uang, kita bersama-sama mencari pohon tumbang di dalam hutan.
Hanya pohon tumbang yang kita ambil, lebih dari itu tidak boleh," kata
Ahim.
Pengambilan pohon tumbang di dalam hutan dilakukan secara bersama-
sama supaya satu sama lain bisa mengontrol dan tak mengambil secara
berlebihan.

Besar di sekitar hutan
Zaenal dan Ahim bersentuhan dengan hutan sejak masih kanak-kanak
karena mereka lahir dan dibesarkan di lingkungan sekitar hutan. Hal
itu pulalah yang membuat kedua orang tersebut begitu kompak menjaga
hutan.
Mereka belajar ilmu kehutanan semakin intensif secara otodidak
setelah diangkat menjadi Raksabumi atau penjaga hutan oleh Pemerintah
Desa Neglasari pada tahun 2000. Mulai saat itu, mereka mendapat
tanggung jawab untuk menjaga kelangsungan hutan dan ekosistemnya,
kendati untuk itu mereka tak mendapat upah apa pun.
Zaenal dan Ahim menerjemahkan pengetahuan sederhana mengenai
perlunya kelestarian hutan, dengan cara yang sederhana pula.
"Hutan itu yang harus menjaga kita sendiri. Kalau kita yang
merusak, kita juga yang akan mendapat bencananya," kata Ahim.
Sebagai Raksabumi, Zaenal dan Ahim harus keluar masuk kampung
untuk terus-menerus menyapa warga sekaligus mengingatkan agar tak ada
seorang pun yang masuk ke dalam hutan untuk menebang pohon.
"Tak jarang saya sendiri yang menegur dan memberi pelajaran fisik
terhadap siapa pun yang ketahuan masuk hutan berbekalgolok. Kalau
sudah begitu, pasti dia akan menebang, tak mungkin ada alasan lain,"
kata Zaenal.
Dia "bertugas" menegur warga yang masuk hutan dengan niat menebang
pohon. "Pelajaran" fisik adalah pilihan terakhir bagi Zaenal untuk
mengingatkan warga agar tak menebang pohon di hutan.
Sedangkan Ahim berperan sebagai orang tua yang memberi masukan
kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian hutan.
"Selama hutan terjaga dan tidak dirusak oleh siapa pun, air
irigasi akan mengalir sepanjang musim. Air untuk kebutuhan rumah
tangga juga akan tersediakapan pun. Listrik akan terus menyala, tak
pernah padam," kata Ahim.
Berbekal air irigasi sepanjang musim, para petani di Neglasari dan
sekitarnya bisa menanam padi hingga tiga kali dalam setahun.
Produktivitas sawah irigasi di wilayah ini mencapai 7 sampai 8 ton per
hektar.

Kincir air
Ketersediaan listrik di Neglasari juga sangat bergantung pada
ketersediaan air dari hutan Gunung Simpang. Pasalnya, air digunakan
warga untuk menggerakkan kincir yang memutar dinamo sehingga
dihasilkan energi listrik.
Di Neglasari setidaknya ada 1.000 keluarga yang memanfaatkan
energi listrik dari kincir air. Setiap keluarga itu memiliki kincir
air mini. Sebagian dari kincir tersebut digerakkan air dari Sungai
Cimaragang yang berada di bawah permukiman warga dan sebagian lainnya
digerakkan oleh air irigasi.
Ahim dan Zaenal juga menjadikan manfaat air untuk menghasilkan
listrik tersebut sebagai bahan "kampanye". Hal ini dirasakan efektif
sebab Desa Neglasari dan beberapa desa lain di sekitar Gunung Simpang
tidak mendapat aliran listrik dari Perusahaan Listrik Negara.
"Setiap warga pasti membutuhkan listrik sehingga mereka mau tidak
mau harus berupaya menjaga ketersediaan air. Itu hanya bisa kita
lakukan kalau bersama-sama mau menjaga hutan," kata Ahim.
Selain menjadi Raksabumi, Ahim juga menjadi "konsultan" bagi warga
yang hendak memasang kincir air mini. Warga hanya diminta menyediakan
kabel, baling-baling dari roda, dan dinamo bekas mobil. Ia akan
membantu merangkai semua bahan tersebut hingga menghasilkan energi
listrik. Pengetahuan membuat kincir air mini itu dipelajari Ahim saat
melihat pemasangan kincir air di tempat lain.
Dinamo mobil menghasilkan listrik satu arah sehingga harus
dimodifikasi agar menghasilkan listrik dua arah. "Listrik satu arah
dihasilkan oleh dinamo karena lilitan spul dan magnetnya yang
bergerak. Agar menjadi listrik dua arah, lilitan spul dan kawatnya
harus diam, dan yang bergerak motornya saja," kata Ahim menerangkan.
Kendati yang dilakukan Ahim dan Zaenal terlihat sederhana,
nyatanya hutan Gunung Simpang tetap terjaga. Masyarakat sekitar juga
terus mendapatkan banyak manfaat dari hutan itu...(Kompas, 12/6 2008)


0 Comments:

Lihat juga disini...